Minggu, 01 Juni 2014

Prosposal kerajinan bambu



A.      PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Berawaldariberkembangnyazaman yang sangatpesatdalambidangkerajinan,kamisebagaigenerasimudainginmengembangkansebuahusahakerajinan yang memilikinilaiekonomisdansisikeindahantersendiri.Kerajinanterinspirasidarilimbahbambu yang sudahtidakterpakai,makamunculah ide iniuntukmemanfaatkanlimbahtersebutmenjadibarang yang memilikinilaijual.Kerajinaninisangatsimpeldanmudahdikembangkansesuaiinovasi. Inovasibaru yang akandikembangkanyaitudenganmengembangkansesuatuyang  moderndanklasik,makaterciptalah “KERLABU” KerlapLampuBambu.

2.TUJUAN
Dari lampuinidihrapkandapatmenciptakan rasa nyamandantenangbagiparapemakainya yang mungkinmerasalelahataupenatsetelahmelakukanaktivitas yang padatseharian.Sebagian orang berpendapatbahwasuasana yang nyamanbisamenenangkanjiwadanpikirandanmenurutparaahlijikabadanterasalelahmakasalahsatucara agar lelahteratasiadalahdenganmenenangkanjiwadanpikiran. Suasana yang romantisjugamenimbulkanperasaansenang .
3.GAMBARAN USAHA
Kerlabumerupakankerajinan yang sederhanatapimemilikinilaijual yang cukupekonomiskarenadibuatdarilimbah bamboo yang sudahtidakterpakaidengan system pembuatanpemotongandanpengukiranyang menciptakanbarangkerajinanklasikmodern .
B.      PROFIL
1.JENIS USAHA
Kerlabumerupakansingkatandarikerlaplampubambu yang diciptakandaribambu yang di potongsesuaiukurandandiukirterganungseleradansesuaidenganpesanan yang di inginkan.Dalamsetiapprodukkerajian yang kami produksitelahsiappakaidenganlampu yangbervariasi.Kegunaanproduk kami yang pastiuntukmenerangkansuatutempatdenganmemberikankenyamanandankeromantisanbagipenggunaterutamabagiremaja.
            2.NAMA PERUSAHAAN
            Kami sebutperusahaan kami sebagai “KERLABU HANDMADE” karenaterfokusdenganproduk yang kami harappara investor tertarikuntukmenginfestasikan modal kepadaperusahaan kami.
            3.LOKASI

Lokasitempatusaha kami adaditempatwisata, pusatkota, dantempatstrategis yang memungkinkanbanyakkonsumen yang membeliproduk kami untuksouvenir .
C.   STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN
1.OWNER
bertugasuntukmengaturkeuangankaryawandanbahanbakusetiap owner memilikitugasmasing – masingsehinggapekerjaandapatterbagidelngancepatsertaefisien.

-FAISAL AGUS
2.PENGRAJIN
memproduksibarangmulaidaripemotongan,pengukiran,pemasangan,dan finishing. Setiappengrajin kami bagimenjadi 2 orang yang kami tempatkan di pusatproduksiusahakami .
3.KASIR
Untuksetiaptransaksipembelian yang terjadidarikonsumenditanganiolehsetiapkasir yang tersediapadasetiaptempatusaha.
4.BAGIAN PENGIRIMAN BARANG
Mengirimprodukjadidaripusatproduksikecabang-cabang lain melaluiangkutandarat, angkutanudara, danangkutanlaut.
5.BAGIAN PENGIKLAN
Bagianinibertugasmengiklankanprodukjadimelaluisuratkabar, social media, brosur, pamflet, media elektronik, dll.
·         Media elektronik: kami mengiklankansetiap 6 bulansekali di televisi, danmelalui BBM(Blackberry Messenger)
·         Suratkabar: setiapharimenyesuaikanmasaaktifiklan.
·         Social media: melaluifacebook, twitter, dll.
D.      Produkperusahaan
§  Jenisproduk
Jenisprodukkitaadalahlampu.Yang terbuatdaribambu yang diukir.

§  Pembuatanproduk
Pembuatannyamulaidaribambu yang sudahkeringdipotong-potongsesuaikeinginandanpemesanan.Laludiukirdalambentukmacam-macamdanunik.Setelahitudiberilampubersamakabel.Bisalampubolam, lampukecil, danlampuwarna-warni.

§  Keunggulanproduk
Keunggulanproduk kami lampubambuinilebihklasik, lebihekonomis, danlebihunikdaripadalampu-lampubiasa yang seringdigunakanmasyarakat.

E.       Target pasar
Usaha kami menjualdalam berbagai paket pesanan.
§  untukpemesananborongan (restoran, hotel, dll) minimal 50biji. Tapihargabisalebihmurah.
§  untukpemesananperoranganatauecer minimal 1biji bisatapihargastandar.
F.       Promosi dan pemasaran
Produk sangat ekonomis, bernilai seni tinggi, dan mudah digunakan , menjelaskan kualitas ,
              1. PromosiDiskon
2. PemberianHadiah–Undian
                  3. StrategiFreemiumke Premium
                  4. StrategiMenggunakanPihak Lain
                  5. PeningkatanLayanan (Service)
                  6. StretegiBerkorban (Loss to Get More)
        G.     LaporanKeuangan
§  Alokasidana
Modal=270.000.000
Tanah= 100.000.000
Bangunan=100.000.000
Peralatan=5.000.000
Biayabahanproduksi=3.000.000
Biayaiklan=1.000.000
Biayalistrikdantelepon=200.000
Kendaraan=50.000.000
Biayagaji 11 orang karyawan=8.800.000
Simpanan=2.000.000

§  PerhitunganLaba
                                                                 
LaporanRugiLaba
    Per 31 Januari
20XX
Pendapatanusaha                       Rp. 45.000.000
BiayaUsaha : .
-By. Gaji :            Rp. 8.800.000 .
-By. Telp :                     500.000 .
-By. Depresiasi :            500.000 + .
Total By. Usaha : ……………   Rp. 9.800.000 _
Laba / Rugi Usaha… … … …   Rp. 35.200.000

§  PerhitunganBagiHasil
Pemegangsahamada 10 orang danakan di bagi rata yaitusetiap orang mendapat 10% darilaba. (Rp.35.200.000\10%=3.520.000)
H.      Penutup
Demikian proposal ini kami susun ,besar harapan dan keinginan untuk usaha ini ,berharap dapat menjadi acuan berbisnis di masa yang akan datang dan semoga dapat menjadi tempat untuk merekrut karyawan – karyawan di Indonesia untuk bekerja,sehingga dapat membantu pemerintah mengurangi pengangguran di era krisis global seperti sekarang ini.
Kami menyadaribahwadalampembuatan proposal inimasihbanyakkekurangan ,untukitusaya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun .
Demikian proposal ini di buat ,kamiucapakanterimakasihkepadasemuapihak yang telahikutsertaberpartisipasidalam penyusunan proposalini, serta kami berharap agar pelaksanaan perusahaan yang kami dirikan ini dapat berjalan dengan baik dan lancar seperti harapan kami.

I.        Lampiran
BiodataPemilik Usaha:
1.       Nama            :Azis
Umur            :19th
2.       Nama            :Faesal
Umur            :20th
3.       Nama            :Novi
Umur            :19th
4.       Nama            :Erna
Umur            :18th
5.       Nama            :Nurhayati
Umur            :18th
6.       Nama            :Wulan
Umur            :19th
7.       Nama            :Betha
Umur            :20th
8.       Nama            :Eni
Umur            :18th
9.       Nama            :Tyas
Umur            :18th
10.   Nama            :EkaNp
Umur            :19th
                 
                  SuratPerjanjian
Pasal1 :
BahwaantaraPemodal yang berjumlah 10 orangmengadakanKerjasama di bidangusaha “KERLABU HANDMADE” dengan modal awalRp. 270.000.000,-

Pasal2 :
Bahwabiayasebagaimanatersebutpadapasal 1, ditanggungolehmasing-masingpihaksebesarRp. 27.000.000,-

Pasal3 :
Bahwamasing-masingpihakberhakuntukmendapatkanpembagianhasil 10%untuksetiappemodaldarikeuntungan.dihitungsetelahusahaberjalanselamaTigaBulan. danSelanjutnyadihitungsetiapbulan.

Pasal4 :
Bahwaapabilakekayaanperusahaantelahmelebehidari modal awal, makamasing-masingpihakberhakmenarikmodalnyakembalidantidakmempengaruhihakataspembagiankeuntungan.

Pasal5 :
Bahwahak-haktersebutpadaperjanjianiniakanmenjadigugur/tidaksahapabilapihak yang bersangkutanmengundurkandiriataumelakukanpelanggaran-pelanggaran yang merugikanperusahaan.

Pasal6 :
Bahwaapabiladikemudianhariperusahaanmengalamipailit, makamasing-masingpihakmemilikikewajibanatautanggungjawab.

RENCANA USAHA
Kerlabumerupakanprodukdari bamboo yang di buatdaripohon bamboo yang di potongsesuaiukuran yang diperlukan, di ukirsesuaiselera, danditempatkanlampudalam bamboo tersebut.
Dalampembuatannyahanyamembutuhkanwaktu yang tidakterlalu lama sesuaikeahlianpengrajin, kami menargetkanakanmemproduksi 100 buahkerlabudalamseharidan minimal akanmenjual 50 produkdalamsehari. Usaha yang kami lakukanuntukmenjualproduk kami adalahdenganmemberikan bonus 1 buahkerlabuuntuksetiappembelian 5 buahlampu.Produk yang kami hasilkanakan di usahakanproduk yang terjaminkualitasdankuantitasnya.
 Modal yang dibutuhkanuntukmembuat 1 buahkerlabuyaituberkisarantara 5rb, danakanmenjualdenganharga 50-75rb, jika kami menargetkanakanmenjual minimal 30 buahperharimakaomsetyang akan kami hasilkanadalah 1.5jt-2.25jt. Dan dalamsebulanakanmenghasilkan  45jt-67.5jt. dandipotonguntukgaji 11 karyawansebesar 8.8jt danbiaya lain lain. danuntukparapemodalakanmendapat3.62jt-5.87jt tiapbulan, danakanbalik modal hanyadalam 9-11bulan.
Untukusaha kami pastiakanmendapakanberbagaikendala, terutamajika bamboo terusdipotongakanberdampakberkurangnya bamboo padasuatudaerah. Maka kami akanmelakukanpenanamandanpencabutan, untuksetiap 100 pohon yang kami potong kami akanmelakukanpenanaman 150 pohon. Denganbegitu kami tidakperlukhawatirakankekuranganbahandankerusakanlingkungan.
Rencana kami dalamjangkawaktu 2th akanmendirikan outlet di setiapdaerah yang bnyakparawisatawan di jogjakarta agar usaha yang kami hasilkanakanmendapatkanlaba yang berlipat, dandalamjangkawaktu5thakanmelebarkansayapdenganmembuka outlet di kotakotabesar di Indonesia, dan 5thkedepanakanmengeksporproduk kami keluarnegri.



                 
                               



                 




makalah lembaga sosial



MAKALAH


“ LEMBAGA  SOSIAL PERTANIAN ”

Disusun Oleh:

RIA YUANA SARI     13210025




SEKOLAH TINGGI PERTANIAN (STIPER)
DHARMA WACANA METRO
2014



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “ LEMBAGA SOSIAL PERTANIAN ”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pertanian. Seiring dengan selesainya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bpk Ir.Supriyadi . Selaku dosen mata kuliah Sosiologi Pertanian.
2.      Semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
         Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan tugas ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya kepada seluruh pembaca yang budiman.
Wassalamu’alaikum WR. Wb.           

            Metro,             2014

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL  ........................................................................................................ i             
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
Tujuan ........................................................................................................... 2
Manfaar ........................................................................................................ 2
BAB III PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lembaga Sosial Pertanian..................................................... 3
2.2 Peran Lembaga Sosial ............................................................................ 6
2.3 Fungsi Lembaga Sosial ........................................................................... 8
2.4 Lembaga Sosial Pertanian yang ideal ..................................................... 9
   BAB IV PENUTUP
   Kesimpulan ................................................................................................. 13
   Saran............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
2     Seiring dengan peningkatan populasi, semakin meningkat pula kebutuhan pangan, sedangkan produktivitas lahan semakin menurun, terutama di lahan kering dan lahan tadah hujan yang semakin terdegradasi. Untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi marginal yang semakin memburuk, komunitas setempat mengembangkan berbagai upaya yang sering diimplementasikan dalam bentuk kelembagaan sosial yang berfungsi teknis (lembaga tekno-sosial). Kondisi lahan di NTT yang didominasi oleh tanah liat (clay) secara teknis sulit diolah dengan bajak atau alsintan. Tradisi penggembalaan ternak sapi secara komunal dimanfaatkan untuk mengatasi masalah pengolahan lahan dengan menggunakan kawanan sapi untuk menginjak-injak lahan sehingga tanah menjadi lunak dan siap ditanami.
3     Tradisi ini disebut rencak dan merupakan suatu implementasi kelembagaan tekno-sosial yang mampu mengatasi masalah tertentu.
4         
Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Atas kesadaran inilah.Organisasi pada tingkat lokal dapat dikelompokkan (Uphoff, 1986). Modernnisasi sangat mewarnai pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian, termasuk dalam pengorganisasian petani, dan terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat (Harison, 1988). Corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa”, dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Setiap organisasi di desa tunduk pada kekuasaan atas-desa (power compliance) (Tjondronegoro, 1999; Schulte-Nordholt). Kondisi sosial politik seperti ini memberi lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar.
Sebagian besar petani memilih tidak berada dalam organisasi formal (Bourgeois et al., 2003). Pengalaman di banyak negara, misalnya People’s Participation Programme (PPP) (McKone, 1990) juga relatif serupa. PPP mendapatkan bahwa petani kecil umumnya tidak memiliki organisasi yang sesungguhnya. Dalam konteks pembangunan pertanian dan pengembangan  masyarakat pedesaan selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu organisasi baru ke pedesaan Hal ini didasari pandangan bahwa organisasi formal adalah elemen pokok dalam masyarakat modern dan sesuatu yang alamiah di negara berkembang (Makol-Abdul, 1992).






4.1  Rumusan Masalah
1.      Apa itu Lembaga Sosial Pertaian?
2.      Bagaimana peran Lembaga Sosial Pertanian Di Masyarakat ?
3.      Organisasi social  apa  yang ideal untuk petani ?
4.      Apa upaya yang dilakukan untuk mencapai organisasi social yang ideal ?

4.2  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu Lembaga Sosial Pertanian.
2.      Untuk mengetahui peran Lembaga Sosial Pertanian di Masayarakat.
3.      Untuk mengetahui Organisasi Sosial Pertanian yang ideal untuk petani.
4.      Untuk mengetahui upaya mencapai organisasi social yang ideal.
4.3  Manfaat
1.       

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lembaga Sosial dan Organisasi Sosial pertanian
“Lembaga” dimaknai persis sebagai ”Organisasi”. Istilah “kelembagaan” paling sering dipakai sehingga akhirnya memiliki makna yang kabur. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”,
Tabel 1. Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat

Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris
Terminologi dalam literatur berbahasa Indonesia selama ini
Terminologi semestinya
Materi di dalamnya
1. Institution
Kelembagaan, institusi
Lembaga
Norma, nilai, regulasi pemerintah, pengetahuan petani tentang regulasi, dll.
2. Institutional
Kelembagaan, institusi
Kelembagaan
Hal-hal berkenaan dengan lembaga
3. Organization
Organisasi, lembaga
Organisasi
Contoh: kelompok tani, koperasi, asosiasi petani berdasar komoditas
4. Organizational
Keorganisasian, kelembagaan
Keorganisasian
Hal-hal berkenaan dengan organisasi, misalnya perihal kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, dan keuangan organisasi.

Dari tabel di atas, ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”, dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”, yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga”. Demikian pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi”. 

 Lembaga sosial adalah seperangkat aturan yang berkisar suatu kegiatan atau kebutuhan sosial tertentu. Berbagai kegiatan atau kebutuhan sosial menyebabkan munculnya berbagai pranata di berbagai bidang kehidupan.
Lembaga sosial terorganisasi untuk memenuhi berbagai keperluan manusia, yang terlahir dengan adanya berbagai budaya, sebagai suatu ketetapan yang tetap, untuk memperoleh konsep kesejahtraan masyarkat dan melahirkan suatu struktur. Atau suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga adalah proses yang terstruktur (tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.
Lembaga Sosial berbeda dengan asosiasi. lembaga sosial bukanlah kumpulan orang-orang atau bangunan besar, melainkan kumpulan norma. sementara itu, realisasi dari norma yang dianut dalam lembaga sosial tersebut terjadi dengan adanya asosiasi. Bourdieu (dalam Ritzer, 1996 dan Perdue, 1986) misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain. Sementara Berger dan Luckmann (1976) yang fokus pada penciptaan realitas sosial memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku untuk mencapai kebutuhan.



Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah. Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis.
Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif).
Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia sukai (DiMaggio and Powell 1991:11). Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and kewajiban dari kehidupan sosial (Blom-Hansen, 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott, 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup.






Organisasi adalah sebuah unit pembuatan keputusan (sebagaimana Binswanger dan Ruttan, 1978), tempat aktor berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan aktifitas mencapai beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas. Dalam dunia pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas beragam level
Organisasi merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36), Teori Kelembagaan Baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi organisasi.Scott melihat bagaimana proses kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi
Keberadaan organisasi sangat bergantung pada lingkungan kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer and Rowan (1977), Selznick, DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini sejalan pula dengan konsep Bourdieu tentang ”field’(arena sosial) sebagai konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses kelembagaan yang paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
2.2 Peran Lembaga dalam mempengaruhi prilaku individu dalam masyarakat pertanian.
Studi terhadap ”lembaga” dan analisis bagaimana lembaga mempengaruhi individu dalam masyarakat dimulai kalangan sosiologi abad ke-19 dan 20 misalnya Max Weber pada studi birokrasi dan bagaimana birokrasi mempengaruhi cara berprilaku masyarakat (Weber, 1914). Perhatian terhadap lembaga cukup konstan dari masa ke masa meskipun menggunakan berbeda istilah (Scott, 2008: 8). Melalui pendekatan teori perilaku (behavioural theory) dan teori pilihan rasional (rational choice theory), studi kelembagaan menjadi lebih mikro dan individual.
Perilaku individu terbentuk atau terpengaruh oleh lembaga tempat dimana ia hidup (Scott, 2008: 10). Dalam kurun ini pula, Durkheim menjelaskan masyarakat dengan memberi perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965) Bagi Durkheim, lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).

         Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu di tengah masyarakat. Bourdieu (dalam Ritzer, 1996 dan Perdue, 1986) misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain. Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan. Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru, maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga. Ketiga bagian tersebut menjadi objek pokok kalangan sosiologi dan sosiologi ekonomi dalam menjelaskan lembaga selama ini, yakni mencakup aspek-aspek normatif, regulatif, dan kultural-kognitif.
Pertama, aspek normatif. Beberapa kalangan sosiolog yang menyebut bahwa norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat adalah Durkheim (1968), Parsons , Sumner dan Cooley (dalam Mitchel, 1968), Selznick, Soekanto (1999: 218), serta Uphoff (1992). Parsons menyebutkan bahwa ”sistem normalah yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008: 14-15), sementara Durkheim (1968) menyebut bahwa“integrasi sosial dan regulasi antar individu dicapai melalui konsensus tentang moral dan nilai-nilai”. Selznick menekankan pentingnya kontrol norma yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi aktor dan menekannya dalam situasi sosial.
Norma merupakan komponen pokok dan paling awal dalam lembaga. Karena itulah, para ahli yang berada di sisi ini sering mengklaim sebagai telah melahirkan kelembagaan yang asli (genuine institutionalism). Pada prinsipnya, norma akan menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung jawab dalam kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan kita, dan bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi(constraint) sekaligus mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada hakekatnya menjelaskan apa kewajiban bagi aktor. Bagi sebagian kalangan, lembaga yang menjadikan norma sebagai objek pokoknya disebut dengan “lembaga normatif atau “paham kelembagaan historik
Kedua, aspek regulatif.
 Aspek ini terutama datang dari kalangan sosiolog yang banyak memperhatikan perilaku ekonomi, sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan aliran kelembagaan pilihan rasional (rational choice institusionalism). Binswanger dan Ruttan (1978) berada di sisi ini yang menyebut lembaga sebagai sekumpulan aturan ttentang perilaku yang membentuk pola tertentu dalam relasi-relasi di masyarakatSejalan dengan ini, Nee (2005) dalam konteks analisa kelembagaan juga menyebut hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (Alexander, 2005). Portes (2006) juga menyebut lembaga sebagai “sekumupulan aturan baik formal maupun non formal yang membentuk kesalinghubungan antar peran dalam organisasi sosial”.
Dalam objek ini terkait perihal latar aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi-sanksi. Lembaga diukur dari kapasitasnya untuk menegakkan aturan, misalnya melalui mekanisme hadiah dan sanksi. Aturan ditegakkan melalui mekanisme informal dan formal. Sebagai norma, aturan juga bersifat represif dan membatasi namun juga memberi kesempatan terhadap aktor. Menghadapi kompleks aturan ini, maka aktor berupaya memaksimalkan keuntungan. Karena menjadikan regulasi sebagai objek pokoknya, lembaga jenis ini seringpula disebut dengan “kelembagaan regulatif”.
Ketiga, aspek kultural-kognitif.
Menurut (scott, 2008) tokoh-tokoh yang menjadikan ini sebagai aspek penting lembaga adalah Geertz, Douglass, Berger, Goffman, Bourdieu, Meyer , DiMaggio, Powel, dan Scott. Inti dari objek kultural-kognitif ini adalah pada makna (meaning). Fokus dalam kultural-kognitif adalah pada bagaimana kehidupan sosial menggunakan kerangka makna dan bagaimana makna-makna diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini diperhatikan proses sedimentasi dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif melalui proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal.
Berdasarkan tiga objek ini, maka “lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor. Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah.
 Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia sukai (DiMaggio and Powell 1991:11).
Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and kewajiban dari kehidupan sosial (Blom-Hansen, 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott, 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup.

2.3 Konsep Organisasi petani
Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36).
Teori Kelembagaan Baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi organisasi.Scott melihat bagaimana proses kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori Kelembagaan Baru - tidak sebagaimana Teori Kelembagaan Lama - menyediakan jalan untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer ( Scott, 2008: viii).
Keberadaan organisasi sangat bergantung pada lingkungan kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer and Rowan (1977), Selznick, DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini sejalan pula dengan konsep Bourdieu tentang ”field’(arena sosial) sebagai konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses kelembagaan yang paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
Organisasi merupakan sebuah unit pembuatan keputusan (sebagaimana Binswanger dan Ruttan, 1978), tempat aktor berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan aktifitas mencapai beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas. Dalam dunia pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas beragam level, mulai dari level internasional sampai dengan grup-grup mandiri (individual organization), misalnya kelompok tani dan koperasi-koperasi pertanian.

Organisasi juga menjadi wadah untuk mengelola sumber daya. Dalam konteks relasi dengan negara, pendekatan “organization-state approach” telah lama mempelajari bagaimana relasi organisasi dengan pasar dan negara dalam hal materi dan ide. Dalam kajian ini juga dipelajari bagaimana negara dengan aktor-aktor sosial menegosiasikan hak-hak kepemilikan, struktur pemerintahan, dan aturan pertukaran yang berperan dalam menentukan lingkungan pasarterhadap berjalannya organisasi. Kehadiran negara dan pasar merupakan ciri masyarakat modern, dan ”organisasi adalah ciri masyarakat modern” (Casey, 2002: 4-5).
Organisasi merupakan arena sosial dimana tindakan rasional berlangsung (sebagaimana pendapat Selznick dalam Scott, 2008: 21). Perilaku dalam organisasi pasti rasional, karena pilihan-pilihan dibatasi dan dipandu oleh aturan-aturan (Scott, 2008; 25). Adanya organisasi akan mempercepat tercapainya kestabilan tindakan. Ini merupakan jiwa dasar dari pelembagaan. Nee (2005) juga sejalan dengan ini, dimana menurutnya lingkungan kelembagaan dikristalisasi pada organisasi.
Adanya organisasi akan membantu untuk menyederhanakan dan mendukung pembentukan keputusan individu. Aktivitas bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan kesempatan. Namun, dalam organisasi perilaku akan lebih tertata, lebih terpola, sehingga lebih bisa diprediksi pula. Pendekatan kelembagaan baru paling tepat digunakan dalam mempelajari organisasi, karena ia telah menjadi prespektif yang pokok dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi, dimana ia lebih banyak perhatian pada konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005). Menurut Nee (2005: 49), kelembagaan baru adalah sebuah integrasi dari sekumpulan relasi-relasi sosial dan lembaga-lembaga sebagai pedoman yang lalu menjadi pengatur dalam kondisi elemen-elemen formal dari struktur kelembagaan dan organisasi sosial nonformal dari jaringan dan norma-norma memfasilitasi, memotivasi, dan menentukan perilaku ekonomi anggota masyarakat.
Tahapan dan Proses Pembuatan Keputusan yang Dilakukan oleh Petani Dalam Berorganisasi
Berkenaan dengan model kerangka pemikiran bagaimana petani memutuskan untuk menjalankan aktivitas agribisnisnya - apakah akan menjalankan dalam organisasi atau tidak - digunakan pendekatan kelembagaan baru. Basis penyusunan model ini datang dari salah satu akar teori kelembagaan yaitu pilihan rasional (rational choice). Pendekatan kelembagaan pilihan rasional dipilih karena mampu menerangkan bagaimana dan mengapa individu dan organisasi terlibat dalam aksi kolektif sesuai dengan aturan untuk mendapatkan perolehan maksimal dari sumber daya yang ada (Baxter, 2005: 41-56). Pendekatan ini dipilih karena diyakini lebih mampu memperbaiki kelemahan dari konsep pilihan rasional yang banyak dikritik karena keterbatasannya.
Meskipun menggunakan pendekatan “lembaga dan organisasi”, sebagaimana konsep agen-struktur Giddens dan habitus-field Bourdieu, aktor dipersepsikan berperilaku sebagaimana ia mempersepsikan konteks kulturalnya yang mencakup aturan, prosedur, norma, sistem simbol, kognitif, dan tatanan moral. Ini semua menyediakan kerangka makna bagi aktor sebagai pedoman dalam berprilaku (Hall and Taylor 1996: 947 dalam Baxter 2005). Konsep dasarnya adalah bahwa individu akan membuat pilihan sadar, namun akan bekerja dalam parameter-parameter yang disusun oleh norma-norma sebagaimana ia menginterpretasikannya. Bagaimana individu berelasi dengan orang lain dipengaruhi oleh nilai-nilai berkenaan dengan kekuasaan dan aturan yang ada di masyarakat secara luas. Aktor menyeleksi sesuai interpretaisnya yaitu “what is feasible, legitimate, possible, and desirable” pada lingkungan kelembagaan tempat dimana ia berada (Hay and Wincott 1998: 956 dalam Baxter, 2005).





2.2 Kendala menjalankan lembaga social pertanian
Mengorganisasikan petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah untuk pemberdayaan petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk berkelompok, dimana kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006). Untuk mewujudkan ini, telah dihabiskan anggaran dan dukungan tenaga lapang yang cukup besar.

Permasalahannya, kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Kapasitas keorganisasian mereka lemah, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program (Bourgeois et al., 2003), bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan program (PSEKP, 2006). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5; Grootaert, 2001), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003). Penyebab kegagalan ini adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal (Taylor dan Mckenzie, 1992), pendekatan yang seragam (blue print approach) (Uphof, 1986), kurang mengedepankan partisipasi dan dialog (Amien, 2005), lemahnya kemampuan aparat pemerintah (Bourgeois et al., 2003), dan karena menggunakan paradigma yang kurang tepat (Chambers, 1987; Nordholt (1987). Namun demikian, sampai sekarang berbagai kebijakan masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan, misalnya Peraturan Menteri Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani dan Keputusan Menko Kesra No: 25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri.

Fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) Mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; (b) Membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya produksi; (c) Membantu meningkatkan sustainability pemanfaatan sumberdaya alam; (d) Menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; (e) Mempengaruhi lembaga-lembaga politis; (f) Membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; (g) Meningkatkan akses ke sumber informasi; (h) Meningkatkan kohesi sosial; (i) Membantu mengembangkan sikap dan tindakan koperatif, dll.