MAKALAH
“
LEMBAGA SOSIAL PERTANIAN ”
Disusun
Oleh:
RIA YUANA SARI 13210025
SEKOLAH
TINGGI PERTANIAN (STIPER)
DHARMA WACANA METRO
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah,
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “ LEMBAGA SOSIAL PERTANIAN ”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pertanian.
Seiring dengan selesainya makalah
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bpk
Ir.Supriyadi . Selaku dosen
mata kuliah Sosiologi Pertanian.
2.
Semua
pihak yang telah membantu sehingga makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan
demi kesempurnaan tugas
ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya kepada seluruh pembaca
yang budiman.
Wassalamu’alaikum WR. Wb.
Metro,
2014
Penulis
DAFTAR
ISI
JUDUL ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar
Belakang ............................................................................................. 1
Rumusan
Masalah ........................................................................................ 2
Tujuan
........................................................................................................... 2
Manfaar
........................................................................................................ 2
BAB III PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lembaga Sosial Pertanian..................................................... 3
2.2
Peran Lembaga Sosial ............................................................................ 6
2.3
Fungsi Lembaga Sosial ........................................................................... 8
2.4
Lembaga Sosial Pertanian yang ideal ..................................................... 9
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................. 13
Saran............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
2
Seiring dengan peningkatan populasi,
semakin meningkat pula kebutuhan pangan, sedangkan produktivitas lahan semakin
menurun, terutama di lahan kering dan lahan tadah hujan yang semakin
terdegradasi. Untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi marginal yang semakin
memburuk, komunitas setempat mengembangkan berbagai upaya yang sering
diimplementasikan dalam bentuk kelembagaan sosial yang berfungsi teknis
(lembaga tekno-sosial). Kondisi lahan di NTT yang didominasi oleh tanah liat
(clay) secara teknis sulit diolah dengan bajak atau alsintan. Tradisi
penggembalaan ternak sapi secara komunal dimanfaatkan untuk mengatasi masalah
pengolahan lahan dengan menggunakan kawanan sapi untuk menginjak-injak lahan
sehingga tanah menjadi lunak dan siap ditanami.
3
Tradisi ini disebut rencak dan merupakan
suatu implementasi kelembagaan tekno-sosial yang mampu mengatasi masalah
tertentu.
4
Negara dan
pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya
organisasi petani. Atas kesadaran inilah.Organisasi pada tingkat lokal dapat
dikelompokkan (Uphoff, 1986). Modernnisasi sangat mewarnai pendekatan
pemerintah dalam pembangunan pertanian, termasuk dalam pengorganisasian petani,
dan terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat (Harison, 1988). Corak
kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk
desa”, dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Setiap
organisasi di desa tunduk pada kekuasaan atas-desa (power compliance) (Tjondronegoro, 1999; Schulte-Nordholt).
Kondisi sosial politik seperti ini memberi lingkungan yang kurang kondusif
untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar.
Sebagian besar petani memilih tidak
berada dalam organisasi formal (Bourgeois et al., 2003). Pengalaman di
banyak negara, misalnya People’s Participation Programme (PPP)
(McKone, 1990) juga relatif serupa. PPP mendapatkan bahwa petani kecil
umumnya tidak memiliki organisasi yang sesungguhnya. Dalam konteks
pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat pedesaan selama ini, hampir tiap
program mengintroduksikan satu organisasi baru ke pedesaan Hal ini didasari
pandangan bahwa organisasi formal adalah elemen pokok dalam masyarakat modern
dan sesuatu yang alamiah di negara berkembang (Makol-Abdul, 1992).
4.1 Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Lembaga Sosial Pertaian?
2. Bagaimana
peran Lembaga Sosial Pertanian Di Masyarakat ?
3. Organisasi
social apa yang ideal untuk petani ?
4. Apa
upaya yang dilakukan untuk mencapai organisasi social yang ideal ?
4.2 Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa itu Lembaga Sosial Pertanian.
2. Untuk
mengetahui peran Lembaga Sosial Pertanian di Masayarakat.
3. Untuk
mengetahui Organisasi Sosial Pertanian yang ideal untuk petani.
4. Untuk
mengetahui upaya mencapai organisasi social yang ideal.
4.3 Manfaat
1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Lembaga Sosial dan Organisasi Sosial pertanian
“Lembaga” dimaknai persis sebagai ”Organisasi”.
Istilah “kelembagaan” paling sering dipakai sehingga akhirnya memiliki makna
yang kabur. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution”
menjadi ”kelembagaan”,
Tabel 1. Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat
Tabel 1. Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat
Terminologi dalam literatur
berbahasa Inggris
|
Terminologi dalam literatur
berbahasa Indonesia selama ini
|
Terminologi semestinya
|
Materi di dalamnya
|
1. Institution
|
Kelembagaan, institusi
|
Lembaga
|
Norma, nilai, regulasi
pemerintah, pengetahuan petani tentang regulasi, dll.
|
2. Institutional
|
Kelembagaan, institusi
|
Kelembagaan
|
Hal-hal berkenaan dengan
lembaga
|
3. Organization
|
Organisasi, lembaga
|
Organisasi
|
Contoh: kelompok tani,
koperasi, asosiasi petani berdasar komoditas
|
4. Organizational
|
Keorganisasian, kelembagaan
|
Keorganisasian
|
Hal-hal berkenaan dengan
organisasi, misalnya perihal kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, dan
keuangan organisasi.
|
Dari tabel di atas, ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”, dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”, yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga”. Demikian pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi”.
Lembaga sosial adalah seperangkat aturan yang
berkisar suatu kegiatan atau kebutuhan sosial tertentu. Berbagai kegiatan atau
kebutuhan sosial menyebabkan munculnya berbagai pranata di berbagai bidang
kehidupan.
Lembaga
sosial terorganisasi untuk memenuhi berbagai keperluan manusia, yang terlahir
dengan adanya berbagai budaya, sebagai suatu ketetapan yang tetap, untuk
memperoleh konsep kesejahtraan masyarkat dan melahirkan suatu struktur. Atau suatu
system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat
dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan
yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga
adalah proses yang terstruktur (tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan
tertentu.
Lembaga
Sosial berbeda dengan asosiasi. lembaga sosial bukanlah kumpulan orang-orang
atau bangunan besar, melainkan kumpulan norma. sementara itu, realisasi dari
norma yang dianut dalam lembaga sosial tersebut terjadi dengan adanya asosiasi. Bourdieu
(dalam Ritzer, 1996 dan Perdue, 1986) misalnya, melalui perjuangan simbolik,
mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan
dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain. Sementara
Berger dan Luckmann (1976) yang fokus pada penciptaan realitas sosial memandang
bahwa lembaga adalah pola perilaku untuk mencapai kebutuhan.
Fungsi
lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat,
meskipun ia pun dapat berubah. Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan
pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam
bidang agribisnis.
Berbagai
norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat
regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya
(kultural-kognitif).
Lembaga tak
hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga
individu dapat memanfaatkan apa yang ia sukai (DiMaggio and Powell 1991:11).
Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and kewajiban dari kehidupan
sosial (Blom-Hansen, 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu
terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott, 1995). Ini sejalan dengan Nee
(2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan
seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun
tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup.
Organisasi
adalah sebuah unit pembuatan keputusan (sebagaimana Binswanger dan Ruttan,
1978), tempat aktor berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan
aktifitas mencapai beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas.
Dalam dunia pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas
beragam level
Organisasi
merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi
kelembagaan (North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott,
1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36), Teori Kelembagaan Baru adalah
tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari
sosiologi organisasi.Scott melihat bagaimana proses
kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi
Keberadaan organisasi
sangat bergantung pada lingkungan kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer
and Rowan (1977), Selznick, DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini
sejalan pula dengan konsep Bourdieu tentang ”field’(arena sosial)
sebagai konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses kelembagaan
yang paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
2.2 Peran Lembaga dalam mempengaruhi prilaku individu
dalam masyarakat pertanian.
Studi
terhadap ”lembaga” dan analisis bagaimana lembaga mempengaruhi individu dalam
masyarakat dimulai kalangan sosiologi abad ke-19 dan 20 misalnya Max Weber pada
studi birokrasi dan bagaimana birokrasi mempengaruhi cara berprilaku masyarakat
(Weber, 1914). Perhatian terhadap lembaga cukup konstan dari masa ke masa
meskipun menggunakan berbeda istilah (Scott, 2008: 8). Melalui pendekatan teori
perilaku (behavioural theory) dan teori pilihan rasional (rational choice
theory), studi kelembagaan menjadi lebih mikro dan individual.
Perilaku
individu terbentuk atau terpengaruh oleh lembaga tempat dimana ia hidup (Scott,
2008: 10). Dalam kurun ini pula, Durkheim menjelaskan masyarakat dengan memberi
perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang
didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965) Bagi Durkheim,
lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan
otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).
Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu di tengah masyarakat. Bourdieu (dalam Ritzer, 1996 dan Perdue, 1986) misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain. Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan. Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru, maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga. Ketiga bagian tersebut menjadi objek pokok kalangan sosiologi dan sosiologi ekonomi dalam menjelaskan lembaga selama ini, yakni mencakup aspek-aspek normatif, regulatif, dan kultural-kognitif.
Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu di tengah masyarakat. Bourdieu (dalam Ritzer, 1996 dan Perdue, 1986) misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain. Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan. Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru, maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga. Ketiga bagian tersebut menjadi objek pokok kalangan sosiologi dan sosiologi ekonomi dalam menjelaskan lembaga selama ini, yakni mencakup aspek-aspek normatif, regulatif, dan kultural-kognitif.
Pertama, aspek
normatif. Beberapa kalangan sosiolog yang menyebut bahwa norma sebagai penentu
pokok perilaku individu dalam masyarakat adalah Durkheim (1968), Parsons ,
Sumner dan Cooley (dalam Mitchel, 1968), Selznick, Soekanto (1999:
218), serta Uphoff (1992). Parsons menyebutkan bahwa ”sistem
normalah yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu
semestinya” (Scott, 2008: 14-15), sementara Durkheim (1968) menyebut
bahwa“integrasi sosial dan regulasi antar individu dicapai melalui konsensus
tentang moral dan nilai-nilai”. Selznick menekankan pentingnya kontrol
norma yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi aktor dan menekannya
dalam situasi sosial.
Norma merupakan komponen pokok dan
paling awal dalam lembaga. Karena itulah, para ahli yang berada di sisi ini
sering mengklaim sebagai telah melahirkan kelembagaan yang asli (genuine
institutionalism). Pada prinsipnya, norma akan menghasilkan
preskripsi, bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung jawab dalam
kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan kita, dan
bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi(constraint) sekaligus
mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada hakekatnya
menjelaskan apa kewajiban bagi aktor. Bagi sebagian kalangan, lembaga yang
menjadikan norma sebagai objek pokoknya disebut dengan “lembaga normatif” atau
“paham kelembagaan historik”
Kedua, aspek
regulatif.
Aspek ini terutama datang dari kalangan sosiolog
yang banyak memperhatikan perilaku ekonomi, sehingga melahirkan apa yang
dikenal dengan aliran kelembagaan pilihan rasional (rational choice
institusionalism). Binswanger dan Ruttan (1978) berada di sisi ini yang
menyebut lembaga sebagai sekumpulan aturan ttentang perilaku yang
membentuk pola tertentu dalam relasi-relasi di masyarakat. Sejalan
dengan ini, Nee (2005) dalam konteks analisa kelembagaan juga menyebut hubungan
antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (Alexander,
2005). Portes (2006) juga menyebut lembaga sebagai “sekumupulan
aturan baik formal maupun non formal yang membentuk kesalinghubungan antar
peran dalam organisasi sosial”.
Dalam objek ini terkait perihal latar aturan (rule
setting), monitoring, dan sanksi-sanksi. Lembaga diukur dari kapasitasnya untuk
menegakkan aturan, misalnya melalui mekanisme hadiah dan sanksi. Aturan
ditegakkan melalui mekanisme informal dan formal. Sebagai norma, aturan juga
bersifat represif dan membatasi namun juga memberi
kesempatan terhadap aktor. Menghadapi kompleks aturan ini, maka aktor berupaya
memaksimalkan keuntungan. Karena menjadikan regulasi sebagai objek pokoknya,
lembaga jenis ini seringpula disebut dengan “kelembagaan regulatif”.
Ketiga, aspek kultural-kognitif.
Menurut (scott, 2008) tokoh-tokoh
yang menjadikan ini sebagai aspek penting lembaga adalah Geertz, Douglass,
Berger, Goffman, Bourdieu, Meyer , DiMaggio, Powel, dan Scott. Inti dari objek
kultural-kognitif ini adalah pada makna (meaning). Fokus dalam
kultural-kognitif adalah pada bagaimana kehidupan sosial menggunakan kerangka
makna dan bagaimana makna-makna diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini
diperhatikan proses sedimentasi dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif
melalui proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural
eksternal.
Berdasarkan tiga objek ini, maka
“lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan
kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan
untuk bertindak bagi aktor. Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan
keteraturan dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah.
Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan
pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam
bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma
pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak
sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi
batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu
dapat memanfaatkan apa yang ia sukai (DiMaggio and Powell 1991:11).
Lembaga memiliki dimensi
preskriptif, evaluatif, and kewajiban dari kehidupan sosial (Blom-Hansen, 1997)
dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen,
1984, 1989; Scott, 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa
aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari
konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada
aturan sosial yang hidup.
2.3 Konsep Organisasi petani
Selanjutnya, dalam hal konsep
”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama
dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan Robbins) dan dari
pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36).
Teori Kelembagaan Baru adalah
tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari
sosiologi organisasi.Scott melihat bagaimana proses
kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori
Kelembagaan Baru - tidak sebagaimana Teori Kelembagaan Lama - menyediakan jalan
untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer ( Scott,
2008: viii).
Keberadaan organisasi sangat
bergantung pada lingkungan kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer and
Rowan (1977), Selznick, DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini sejalan
pula dengan konsep Bourdieu tentang ”field’(arena sosial) sebagai
konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses kelembagaan yang
paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
Organisasi merupakan sebuah unit
pembuatan keputusan (sebagaimana Binswanger dan Ruttan, 1978), tempat aktor
berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan aktifitas mencapai
beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas. Dalam dunia
pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas beragam level,
mulai dari level internasional sampai dengan grup-grup mandiri (individual
organization), misalnya kelompok tani dan koperasi-koperasi pertanian.
Organisasi juga menjadi wadah untuk
mengelola sumber daya. Dalam konteks relasi dengan negara, pendekatan “organization-state
approach” telah lama mempelajari bagaimana relasi organisasi dengan
pasar dan negara dalam hal materi dan ide. Dalam kajian ini juga dipelajari
bagaimana negara dengan aktor-aktor sosial menegosiasikan hak-hak kepemilikan,
struktur pemerintahan, dan aturan pertukaran yang berperan dalam menentukan
lingkungan pasarterhadap berjalannya organisasi. Kehadiran negara dan pasar
merupakan ciri masyarakat modern, dan ”organisasi adalah ciri masyarakat
modern” (Casey, 2002: 4-5).
Organisasi merupakan arena sosial
dimana tindakan rasional berlangsung (sebagaimana pendapat Selznick dalam
Scott, 2008: 21). Perilaku dalam organisasi pasti rasional, karena
pilihan-pilihan dibatasi dan dipandu oleh aturan-aturan (Scott, 2008; 25).
Adanya organisasi akan mempercepat tercapainya kestabilan tindakan. Ini
merupakan jiwa dasar dari pelembagaan. Nee (2005) juga sejalan dengan ini,
dimana menurutnya lingkungan kelembagaan dikristalisasi pada organisasi.
Adanya organisasi akan membantu
untuk menyederhanakan dan mendukung pembentukan keputusan individu. Aktivitas
bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah
memberi cukup pedoman dan kesempatan. Namun, dalam organisasi perilaku akan
lebih tertata, lebih terpola, sehingga lebih bisa diprediksi pula. Pendekatan
kelembagaan baru paling tepat digunakan dalam mempelajari organisasi, karena ia
telah menjadi prespektif yang pokok dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi,
dimana ia lebih banyak perhatian pada konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005).
Menurut Nee (2005: 49), kelembagaan baru adalah sebuah integrasi dari
sekumpulan relasi-relasi sosial dan lembaga-lembaga sebagai pedoman yang lalu
menjadi pengatur dalam kondisi elemen-elemen formal dari struktur kelembagaan
dan organisasi sosial nonformal dari jaringan dan norma-norma
memfasilitasi, memotivasi, dan menentukan perilaku ekonomi anggota masyarakat.
Tahapan dan Proses Pembuatan
Keputusan yang Dilakukan oleh Petani Dalam Berorganisasi
Berkenaan dengan model kerangka
pemikiran bagaimana petani memutuskan untuk menjalankan aktivitas agribisnisnya
- apakah akan menjalankan dalam organisasi atau tidak - digunakan pendekatan
kelembagaan baru. Basis penyusunan model ini datang
dari salah satu akar teori kelembagaan yaitu pilihan rasional (rational
choice). Pendekatan kelembagaan pilihan rasional dipilih karena
mampu menerangkan bagaimana dan mengapa individu dan organisasi terlibat dalam
aksi kolektif sesuai dengan aturan untuk mendapatkan perolehan maksimal dari
sumber daya yang ada (Baxter, 2005: 41-56). Pendekatan
ini dipilih karena diyakini lebih mampu memperbaiki kelemahan dari konsep
pilihan rasional yang banyak dikritik karena keterbatasannya.
Meskipun menggunakan pendekatan
“lembaga dan organisasi”, sebagaimana konsep agen-struktur Giddens dan
habitus-field Bourdieu, aktor dipersepsikan berperilaku sebagaimana ia
mempersepsikan konteks kulturalnya yang mencakup aturan, prosedur, norma,
sistem simbol, kognitif, dan tatanan moral. Ini semua menyediakan kerangka
makna bagi aktor sebagai pedoman dalam berprilaku (Hall and Taylor 1996:
947 dalam Baxter 2005). Konsep dasarnya adalah bahwa individu akan membuat
pilihan sadar, namun akan bekerja dalam parameter-parameter yang disusun oleh
norma-norma sebagaimana ia menginterpretasikannya. Bagaimana individu
berelasi dengan orang lain dipengaruhi oleh nilai-nilai berkenaan dengan kekuasaan
dan aturan yang ada di masyarakat secara luas. Aktor menyeleksi sesuai
interpretaisnya yaitu “what is feasible, legitimate, possible, and
desirable” pada lingkungan kelembagaan tempat dimana ia berada (Hay
and Wincott 1998: 956 dalam Baxter, 2005).
2.2 Kendala
menjalankan lembaga social pertanian
Mengorganisasikan
petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah untuk pemberdayaan
petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk berkelompok, dimana
kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang
tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta
maupun dengan pelaksana program (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006).
Untuk mewujudkan ini, telah dihabiskan anggaran dan dukungan tenaga lapang yang
cukup besar.
Permasalahannya,
kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Kapasitas
keorganisasian mereka lemah, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan
program (Bourgeois et al., 2003), bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan
program (PSEKP, 2006). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun
organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5; Grootaert, 2001), karena petani
cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003). Penyebab kegagalan
ini adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal (Taylor dan Mckenzie,
1992), pendekatan yang seragam (blue print approach) (Uphof, 1986), kurang
mengedepankan partisipasi dan dialog (Amien, 2005), lemahnya kemampuan aparat
pemerintah (Bourgeois et al., 2003), dan karena menggunakan paradigma yang
kurang tepat (Chambers, 1987; Nordholt (1987). Namun demikian, sampai sekarang
berbagai kebijakan masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan,
misalnya Peraturan Menteri Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007 tentang Pedoman
Pembinaan Kelembagaan Petani dan Keputusan Menko Kesra No:
25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri.
Fungsi
organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) Mengorganisir dan
memobilisasi sumberdaya; (b) Membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka
akses ke sumberdaya produksi; (c) Membantu meningkatkan sustainability
pemanfaatan sumberdaya alam; (d) Menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat
lokal; (e) Mempengaruhi lembaga-lembaga politis; (f) Membantu menjalin hubungan
antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; (g) Meningkatkan akses ke sumber
informasi; (h) Meningkatkan kohesi sosial; (i) Membantu mengembangkan sikap dan
tindakan koperatif, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar